Metode yang dilakukan oleh Markuat petani asal Garut-Jawa Barat itu sejalan dengan konsep gerakan revolusi hijau. Yaitu gerakan yang mencuat pada tahun1950-1980 yang bertujuan meningkatkan produksi tanaman dengan dukungan 4 sarana utama, yakni: irigasi, pupuk, pestisida dan benih unggul. Penerapan revolusi hijau itu berhasil meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan hingga berlipat ganda.
Namun dibalik itu revolusi hijau memunculkan beragam dampak buruk bagi lingkungan. Yang paling dirasakan petani ialah menurunnya kesuburan tanah dan sifat fisik tanah yang dalam jangka panjang justru menurunkan produktivitas tanaman.
Di tanahair gerakan revolusi hijau juga menggeser peran pranata mangsa. Pranata mangsa atau orang jawa biasa disebut 'Pranoto Mongso' ataupun 'Kerta Bumi' dalam bahasa Bali, merupakan metode perhitungan musim tanam dengan memperhentikan fenologi atau perilaku hewan dan tumbuhan.
Pranata berarti pedoman atau tata cara, sedangkan mangsa berarti musim. Pada intinya petani menerjemahkan kondisi tumbuhan atau atau perilaku binatang dalam bercocok tanam. Misalnya, kucing kawin, musim jangkrik, dan saat burung menyuap anaknya, itu semua indikator musim kemarau segera tiba. Merekapun para petani menghindari menanam padi pada masa itu agar tidak kekurangan air.
Pranata mangsa pertama kali diperkenalkan pertama kali pada 22 Juni 1855. Penanggalan pranata mangsa itu disusun dalam 12 musim. Durasi sebuah musim bervariasi antara 23-41 hari dengan indikator yang berbeda-beda. Penetapan nama setiap musim diberikan dengan memperhatikan gejala alam.
Misal, untuk tanggal 1 mangsa ke-1 tahun ke-1 dari kalender pranata mangsa disebut sotya murca. Pada saat itu alam menunjukkan daun-daun berguguran, bermunculannya belalang, dan bintang beralih. Oleh karena itu musim pertama disebut sotya murca ing embanan alias daun berguguran.
Umumnya, petani taat mengikuti pranoto mongso lantaran sistem itu efektif, hemat dan keseimbangan alam terjaga. Contohnya, mereka menanam padi pada mangsa ke-7, selanjutnya panen pada mangsa ke-9. Periode itu adalah masa keluarnya ular dan burung pemakan serangga dari sarang. Ular dan burung pemakan serangga adalah predator bagi tikus dan wereng. Dampak buruk revolusi hijau membuat banyak petani kembali kepada sistem pranoto mongso.
"Metode bijak dan tepat sasaran lebih diutamakan untuk emndongkrak produksi padi."
Hal lain adalah melakukan budidaya penanaman padi secara bijak, misal penggunaan bahan kimiawi secara tepat guna sesuai kebutuhan dan manfaat. Penggunaan mikrob untuk meningkatkan kesuburan tanah, hingga pemanfaatan pupuk dan pestisida hayati.
Selain ramah lingkungan, cara-cara itu terbukti mampu meningkatkan produksi. Pemanfaatan mikrobakteri yang dikombinasikan dengan tehnik budidaya yang tepat misalnya mampu meningkatkan produksi padi hingga 2-3 kali lipat atau sekitar 9,5-17 ton GKP per/ha.
Pada kesimpulannya dengan menerapkan metode revolusi hijau secara terus menerus sepanjang tahun, justru akan menimbulkan dampak negative bagi para petani. Selain akan mempengaruhi tingkat kesuburan tanah, hasil panen padipun akan menurun secara drastis.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar